Thursday, January 28, 2021

Menyadari Bahwa Tidak Ada Kekayaan Apapun Yang Mampu Membeli Waktu.

 Sejak kecil Saya berusaha menyadari bahwa Waktu yang telah berlalu, tidak dapat diulang kembali.

Saya sadar akan rasa itu sejak usia Taman Kanak-kanak. Saya masih ingat saat itu usia Saya beranjak 4 tahun, seperti usia Anak kedua saya Gek Ayu saat ini.

Kala itu, Saya sudah harus berpisah dengan Orang Tua Kandung Saya untuk diajak hidup dirantau oleh Orang Tua Asuh Saya.

Saya masih ingat, bagaimana Saya berusaha menikmati hari-hari Waktu yang tersisa untuk Saya bermain bersama Adik Kecil Saya bernama Kadek Rita digenangan air hujan di halaman Pondok Gubuk kecil yang kami sebut Rumah.

Kami bermain dengan riangnya, mengajak itik atau anak ayam berenang, sampai akhirnya itik anak ayam itu mati.

Senja kala tiba. Saya tidak berani bergegas tidur. Karena Waktu itu, di kampung halaman, saat Waktu menunjukkan Pukul 18.00 wita, saat Sandhya Kala atau Waktu Maghrib, suasana sudah begitu gelap gulita.

Karena belum ada penerangan lampu listrik. Ya, hanya ada lampu templek, kami sebut, lampu minyak tanah dengan sumbu benang.

Almarhum Bapak (Kakeknya Anak-anak) selalu sigap dalam pelayanan. Mempersiapkan lampu templek itu, obat nyamuk Baygon, selimut, menata seprei dan bantal untuk kami tidur.

Dan, seperti yang Saya bilang, kalau Saya belum mau segera tidur. Karena takut menyambut hari esok. Saat dimana Saya akan dijemput oleh Bapak/Ibu dari Denpasar, untuk mengajak Saya hidup merantau.

Sedemikian takutnya, hingga Saya bercerita dan bermain dahulu dengan Adik Kadek. Biasanya dengan berselimut, bermain hitung-hitungan jari tangan.

Takut, takut sekali menghadapi hari esok. Takut kehilangan Waktu untuk bersama. Takut kehilangan Almarhum Bapak yang sopan, baik hati, tulus dan jujur itu. Takut Bapak berubah menjadi Sosok Penuh Amarah akibat dari rasa sakit yang Ia derita.

Takut kehilangan Ibu Saya, takut jauh dari Adik Saya. 

Demikian Saya belajar menghargai Waktu yang tersisa dalam hidup ini, hanya untuk bermain, bercanda, bersenda gurau dengan Keluarga, Orang-orang yang mau mengasihi saya, dengan Mereka yang mau mendampingi hidup Saya. Sejak itu, Saya bertekad untuk tetap dekat dengan keluarga, walau Saya harus mengorbankan Nafsu/Ego Keinginan untuk meraih Kekayaan Materi dalam hiduo ini.

Kami pun beranjak menjadi Anak-anak, Almarhum Bapak dan Ibu, dengan segenap pengorbanan dan usahanya, berhasil mewujudkan rumah baru untuk kami.

Yang layak. Tidak lagi di Pondok Gubuk dibawah pohon bambu yang berada di lereng tebing. Yang banyaj Ularnya, Ulat dan Lintah. Ya, disanalah awalnya kami lahir.

Rumah layak yang usang ini, dipugar perbaiki ulang sedikit-demi sedikit oleh mereka. Demi kenyamanan kami, Anak-anaknya.

Seadanya. Kamar mandi tentunya dengan Air yang Waktu itu masih diisi dengan sistem Mengambil Air di Bulakan alias Sumber Mata Air terlebih dahulu. Untuk dikumpulkan dalam Bak Mandi untuk kami. Dingin. Airnya sangat dingin.

Orang Tua selalu menyiapkan air hangat mandi untuk kami setiap pagi dan sore hari. Selalu.

Jadi, bukan air mengalir di pipa seperti saat ini yang dikelola oleh aparatur Desa Adat dan Pemerintah melalui PDAM nya jika di Kota Besar.

Kala itu, Saya dan Adik sudah terlelap tidur. Seperti biasa, Waktu itu Maghrib dan sudah gelap gulita di kampung (rumah). Saya merasa digendong oleh Almarhum Bapak, diajak ke Dapur, bersama Adik Kadek.

Digendong berdua.

Saya mendengar suara mereka keras, lantang, Waktu itu, yang saya mengerti adalah mereka terlibat cekcok, amarah, adu mulut.

Seingat Saya, Saya dan Adik Kadek menangis. Saya melihat Baju Dinas Mereka dibakar, dimasukkan kedalam Tungku Api di Dapur. Ya, saat itu tidak ada kompor gas. Kami memasak dengan Kayu Bakar, hasil dari tegalan sawah. Dikumpulkan kayu kering. Dibawa pulang. Berjalan kaki 15 menit, hingga 45 menit.

Kami pun digendong kembali oleh Ibu, Ibu menggendong kami berdua, Saya dan Adik Kadek. Kami menangis. Sedih sekali perasaan kami melihat Orang Tua kami terhanyut kedalam pertengkaran seperti itu. Sedih sekali. Seperti Anak-anak lainnya. 

Tentu saja, hal itu berupaya saya hindari, terjadi dalam kehidupan keluarga kecil Saya saat ini. Berusaha dengan sekuat hati Saya, agar tidak melakukan pertengkaran didepan Anak-anak kami, walaupun ketika mereka sedang tertidur.

Takut, takut sekali Saya menghadapi kehidupan ini. Namun rasa Cinta dan Kasih Sayang Orang Tua, Adik-adik, Dan kini ada Istri dan Anak-anak, meyakinkan Saya bahwa, kehidupan ini indah. Agar Saya tidak boleh takut lagi menyongsong hari esok.

Yang hingga malam ini saya menuliskan kisah refleksi kehidupan Saya ini, Saya masih saja takut menyambut hari esok. Takut Waktu ini berlalu, berganti sia-sia. 

Takut jika, keindahan hari ini, lenyap. Berganti dengan kondisi yang penuh Amarah, Emosional dan Kelelahan. Takut sekali.

Karena Saya menyadari, dalam aturan "Rwa Bhineda" alias Positif/Negatif, Siang/Malam, Baik/Buruk, Sukha/Dukha akan selalu berdampingan. Maka dari itu, Saya takut sekali jika Waktu ini, hari yang penuh dengan kebahagiaan/sukha, akan berlalu dan menyambut hari yang penuh kesedihan/dukha.

Karena itulah, setiap hela nafas saya, Saya Sastra, berusaha sekuat hati untuk dapat menikmati Waktu kebersamaan. Yang kala itu dengan Orang Tua, Adik-adik dan Orang Tua Asuh Saya. Kini Waktu bersama Anak-anak dan Istri Saya, berikut Orang Tua dari Istri Saya beserta seluruh keluarganya. 

Tidak mau saya abaikan begitu saya, saat ada kesempatan untuk bersama, berbagi canda dan tawa? Maka Saya Sastra, pasti selalu berusaha menyempatkan diri untuk menyediakan Waktu diri Saya untuk bersama mereka. Kapanpun itu. Walau seringkali mengorbankan nafsu dan ego saya untuk menjadi orang yang disebut mapan, sukses, berkedudukan didalam sosial masyarakat, memiliki jabatan tertentu, memiliki harta materi duniawi tentunya.

Ya! Saya abaikan itu semua, demi Waktu kebersamaan keluarga Saya.

Tapi, entah kenapa, sebagian besar anggota keluarga Saya, tidak setuju dengan sikap saya ini. 

Saya sadari, kita hanya Manusia biasa, yang tidak mampu menguasai segala keinginan, yang tidak akan pernah sempurna.

Saya sadari, ada pengorbanan yang harus kita korbankan untuk mewujudkan suatu kehendak. Ya! Saya korbankan materi. Menjadikan saya terlihat hina, tidak bermartabat, apalagi jagoan.

Diliputi oleh hutang-piutang yang tidak berujung. 

Yang terlihat selalu menyusahkan Orang Tua dan bahkan siapapun yang ada didekat Saya. Saya terlihat begitu "Sok Kaya" yang tidak suka dengan Uang dan Materia alias Harta, Tahta, Wanita. Alias bertingkah yang jagoan. Saya abaikan hal itu semua. Saya tinggalkan, hanya untuk mendampingi Keluarga Saya.

Tapi, sekali lagi, ada Keputusan, ada Konsekuensi dan Resiko yang harus kita ambil dan hadapi.

Haahh.... Sudah lelah jemari tangan Saya mengetik di Hp Android Canggih ini. Yang Waktu dulu, Saya hanya bisa melihat dan menghayal akan punya telepon Rumah seperti orang-orang Kaya itu.


Selamat malam Indonesia.

Tetaplah Tabah. Tetap Semangat. Kuta tidak pernah sendiri menghadapi berbagai ujian dan cobaan hidup ini. 

Yang tentunya akan berganti, selalu begitu, habis gelap terbitlah terang.


Om Shanti Shanti Shanti Om

Matur Suksma,

Terima kasih.

Di tautan YouTube ini, dijelaskan tentang Sifat dan Karakter Saya menurut perhitungan Hari Lahir dan Waktu Kelahiran Saya dalam Kalender Bali atau Saka Hindhu India.







No comments: